Ada faktor ketidakberuntungan ketika sebuah buku itu tak laku. Pertama, karena memang buku itu tidak diketahui pembaca potensialnya atau distributor dan toko buku tidak mampu mempertemukan buku dengan pembacanya. Belum lagi tim marketing yang bekerja tidak optimal karena saking banyaknya buku yang mereka kelola. Di sini peran ketepatan pajangan (display), lamanya pajangan, serta promosi sangatlah berpengaruh, termasuk juga kegigihan pemasarnya.
Kedua, bisa juga terjadi buku yang tidak beruntung itu memang salah momentum atau salah penanganan sejak awal terbitnya. Saya coba memberikan beberapa hal terkait salah pengemasan pada sebuah buku yang dapat berakibat buku tak laku.
1. Judul yang tak memikat atau malah keliru memilih judul bisa berakibat buku tidak disentuh calon pembaca potensial. Judul memang harus unik meskipun agak panjang. Contoh judul panjang yang memikat yaitu Jangan Mau Jadi Orang Gajian Seumur Hidup karya Valentino Dinsi yang pernah mencetak hits.
2. Kover depan yang kurang memiliki greget atau daya pikat secara estetika dan desain juga dapat mematikan rasa orang untuk melirik buku tersebut. Biasanya kover juga berhubungan dengan daya tarik sebuah judul. Judul yang powerful bisa membuat desainer menciptakan juga desain kover yang powerful.
3. Kover belakang yang gagal berkomunikasi karena dijejali blurb (wara) atau teks ringkasan isi buku yang terlalu banyak. Kadang teks itu juga semacam bentuk renungan yang membuat orang mikir dulu bacanya, padahal yang diharapkan pembaca langsung tertarik dan membeli. Ada juga kover belakang yang dijejali testimoni atau endorsement terlalu berlebihan, padahal testimoni itu tidak terlalu kuat mendorong orang membeli buku.
4. Isi buku yang tersurat di daftar isi tak menimbulkan rasa ingin tahu pembaca. Kemudian, setelah dicek ke bagian isinya, ternyata penyajiannya pun monoton atau terlalu ilmiah (buku nonfiksi). Namun, sebenarnya jika isinya memang lengkap dan tuntas, tetap pembaca akan memburunya meski penyajian tidak menarik. Nah, kebanyakan kegagalan itu sudah penampilan tidak menarik, penyajian juga kacau, isinya pun tidak lengkap atau tidak memenuhi ekspektasi pembaca.
5. Harga buku terlampau mahal dibandingkan buku sejenisnya atau dibandingkan nilai benefit yang terkandung di dalam isi buku. Coba bayangkan ketika ada buku bombastis seperti ini “Cara Cepat Makmur dengan Menulis”. Harga buku itu dibandrol Rp50.000,00, tetapi ketika menyelisik isinya Anda hanya disajikan kalimat-kalimat motivasi dan contoh-contoh penulis yang sudah kaya karena royalti mereka. Buku itu sama sekali tak menunjukkan cara sebenarnya makmur dari menulis, bahkan penulisnya pun baru dua kali menulis buku, sisanya menulis artikel dan cerpen yang sebagian kecil saja dimuat di media massa. Tentu Anda akan rugi membeli buku seperti ini dengan harga sedemikian. Demikian pula pembaca buku Anda, tidak mau membuang uang lebih untuk buku yang tak memberikan apa pun buat mereka. Lebih baik mereka menjelajah internet dan mencari sendiri tulisan-tulisan seperti itu secara gratis.
6. Buku terlambat diterbitkan dan momentumnya sudah lewat. Sebagai contoh ya Anda pasti apes kalau buku tentang ibadah Ramadhan justru terbit pertengahan Ramadhan. Jangankan pertengahan, awal Ramadhan saja sudah dianggap telat. Tentu menjadi kekecualian jika buku Anda masuk kategori evergreen atau tetap bisa dijual kapan pun.
7. Tema atau topik buku adalah epigon dari buku-buku yang pernah terbit atau buku tersebut tak ada bedanya dengan buku-buku lain. Kasus seperti ini banyak terjadi pada buku-buku motivasi, buku religi, how to, dan self-help. Buku yang Anda terbitkan tidak lebih baik buku yang sudah diterbitkan sebelumnya. Anda hanya mengulang-ulang isi yang pernah disampaikan buku lain. Meskipun tampak kesan bombastis, pembaca yang cerdas dan gila baca tidak mudah teperdaya dengan buku-buku instan semacam itu.
Kalau sudah menyangkut buku tak laku, biasanya di pihak penerbit para editor dan marketer buku akan saling menyalahkan. Editor bilang bahwa marketer tidak becus menjual. Sebaliknya, marketer bilang editor tidak becus memilih buku yang layak terbit.
Memang kemudian muncul asumsi: “Buku yang laku belum tentu buku yang bagus; buku yang bagus belum tentu laku.” Asumsi ini kadang memutarbalikkan logika keberhasilan sebuah buku, bahkan ekstremnya terkadang terjadi seperti anomali. Sebuah buku mungkin membuat bingung kita semua mengapa bisa laku. Ternyata ada faktor tren juga yang mendorong, tepat pula pada pembaca sasarannya, serta sang penulis juga kebetulan seorang public speaker yang bisa “jualan” dan memengaruhi audiensnya.
Seorang marketer kadang paling enak bilang ke editor: “Kalau milih buku itu yang kayak buku si anu atau kayak buku begitu.”
Biasanya para editor pun geram seolah-olah tim marketing mau enaknya sendiri dan tidak tahu sulitnya mencari naskah dan menemukan penulis yang baik. “Kalau jualan buku yang sudah jelas laku, ngapain kita perlu marketing,” begitu editor menjawab dengan ketus.
Namun, inilah seninya menerbitkan buku. Ada risiko tidak laku dan faktornya banyak sekali, termasuk yang saya sebutkan tadi. Ada saja yang bergurau tentang buku yang tidak laku ini alias slow moving bahwa buku-buku itu selalu membawa kebahagiaan setiap tahun karena terus berulang tahun….
Jurus jitu untuk buku tak laku adalah mengobralnya. Dan orang yang tahu bagaimana memperlakukan buku obral adalah Pak Yusuf dari Yusuf Agency. Beliau jualan buku dengan lapak khasnya di pameran dan mengklaim bukunya paling murah se-Indonesia. Ajaibnya, Yusuf Agency memang piawai mempertemukan buku dengan pembacanya yang potensial.
Dan Pak Yusuf pun akan berdendang:
Pengumuman… pengumuman… siapa yang punya buku (tak laku) bilang-bilang aku. Aku yang siap nampung dengan teman-temanku. Karena cuma diriku yang membuat laku….
Salam buku. [BT]
0 Comments:
Posting Komentar